Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila dalam Perspektif Sejarah

Oleh: Ajat Sudrajat

Demokrasi di Indonesia

Gagasan demokrasi telah berjumpa dan berinteraksi secara dialektik dengan berbagai ragam konteks sosial, kultural, juga corak, dan tingkatan perkembangan ekonomi. Perjumpaan dan interaksi tersebut menunjukkan kelenturan cita-cita demokrasi sekaligus menjadikan demokrasi berkembang sedemikian kompleks. Praktik berdemokrasi telah berkembang dan merambah seluruh masyarakat dunia dengan segala corak ragamnya, termasuk di Indonesia.

Ide demokrasi ini memang telah menjadi komitmen universal. Dalam pandangan Armartya Sen (Riyanto, dkk., 2014:109), klaim universal yang terkandung dalam demokrasi mencakup nilai-nilai intrinsik, instrumental, dan konstruktif. Nilai intrinsik demokrasi melekat pada kebebasan dan partisipasi. Menggunakan kebebasan, menggunakan hak-hak sipil dan politik merupakan bagian dari kehidupan bagi individu sebagai makhluk sosial. Partisipasi dalam kehidupan sosial dan politik mengandung nilai intrinsik bagi kehidupan manusia.

Sementara itu, nilai dan peran atau fungsi instrumental demokrasi adalah upaya dan kemampuan mendengarkan keinginan rakyat. Apa yang diekspresikan dan didukung untuk memperoleh perhatian politik, termasuk tuntutan memenuhi kebutuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraaan. Sedangkan nilai dan peran atau fungsi konstruktif demokrasi dapat dipahami dan disarikan bahwa praktik berdemokrasi akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk saling belajar dan membantu masyarakat secara keseluruhan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama.

Demokrasi Era Revolusi

Pada era revolusi nasional, apabila memperhatikan praktik-praktik politik para pendiri bangsa menjelang kemerdekaan tahun 1945, pada dasarnya sudah tampak praktik-praktik berdemokrasi di kalangan mereka. Misalnya dalam BPUUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang bertugas merumuskan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat Negara, dan lainya, telah dilakukan perdebatan yang sengit di antara mereka. Keanggotaan dalam BPUUPK yang berjumlah 68 orang juga telah mencerminkan perwakilan dari ideologi politik, terutama kalangan Islamis (20%) dan Nasionalis (80%).

Sebagai contoh, setelah bergumul selama kurang lebih 21 hari, akhirnya pada 22 Juni 1945 suatu sintesa dan kompromi dapat diwujudkan. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila Ketuhanan di samping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga diberi anak kalimat pengiring ‘dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ (Maarif, 1998:28).

Perjalanan berdemokrasi berikutnya terlihat pada sidang PPKI, 18 Agustus 1945, pada saat menetapkan UUD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. UUD yang ditetapkan adalah UUD yang kemudian dikenal dengan UUD 1945, tetapi embrionya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya, berasal dari pembukaan dan batang tubuh UUD yang telah dirancang jauh sebelummya, termasuk di dalamnya Piagam Jakarta.

Dalam proses menetapkan UUD, terjadilah dialog yang sengit, sehingga Sukarno merasa kewalahan ketika menghadapi Ki Bagus Hadikusumo. Akhirnya, melalui pendekatan yang dilakukan Mohammad Hatta, dengan memanfaatkan Teuku Mohannad Hassan, wakil Sumatera dalam PPKI, dalam waktu 15 menit, terjadilah peristiwa pencoretan anak kalimat pengiring sila Ketuhanan, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal 29 ayat satu. Demikian juga dengan kata ‘Islam’ yang semula dicantumkan dalam pasal UUD dihapuskan. Dengan cara ini, kompromi yang dilakukan antara golongan Islamis dan Nasionalis, keberatan dari wilayah Timur terhadap UUD telah hilang dan kesatuan tetap terjaga.

Selanjutnya, khususnya setelah kemerdekaan diraih, pada periode antara 1945-1949, lembaga demokrasi yang dianggap representasi dari legislatif dan wakil rakyat adalah KNIP (Komite Nasional Indonensia Pusat). Pada mulanya KNIP dibentuk sebagai lembaga pembantu Presiden. Namun sesuai dengan perkembangan dan dinamika politik, posisi KNIP diubah menjadi lembaga legislatif.

Pelbagai kebijakan pemerintah harus mendapatkan persetujuan KNIP. Misalnya kebijakan tentang perjanjian dengan pihak sekutu, Belanda, dan sebagainya. Beberapa perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda tidak dapat diratifikasi sebelum mendapatkan persetujuan dari KNIP. Perjanjian Linggarjati misalnya, pada mulanya banyak mendapatkan penentangan dari anggota KNIP, tetapi karena intervensi pemerintah, akhirnya perjanjian itu bisa terwujud. Demikian pula dengan Perjanjian Renvile dan KMB, semula tidak semua anggota KNIP menyetujuinya. Oleh karena itu, demokrasi radikal, dalam pandangan Hariyono (2014:89) mengalami kemunduran.

Demokrasi Era RIS

Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah negara federasi yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar (3 Agustus – 2 November 1949): Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. RIS dikepalai oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta.

Di tengah-tengah bangsa Indonesia menghadapi Agresi Belanda II (19 Desember 1948) dengan pelbagai diplomasi dan pertempuran, kehidupan demokrasi tetap berjalan dan dapat dilakasanakan. Pembentukan negara RIS juga dilaksanakan secara demokratis. Anggota KNIP memang ada yang tidak setuju dengan hasil perjanjian KMB, termasuk pembentukan negara RIS, namun jumlah anggota KNIP yang mendukung lebih banyak. Dengan demikian, perubahan negara Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) secara formal juga dilakukan secara demokratis. Demikian juga pada saat pembubaran negara RIS menjadi negara kesatuan juga dilakukan secara demokratis, yaitu dengan persetujuan sidang DPRIS.

Demokrasi Liberal

Berlakunya UUDS 1950 yang menggantikan bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali sejak tanggal 17 Agustus 1950, pada umumnya dianggap sebagai saat mulai berlakunya sistem Demokrasi Liberal. Tetapi Nugroho Notosusanto mengemukakan bahwa berlakunya Demokrasi Liberal dimulai sejak berlakunya Konstitusi RIS tanggal 27 Desember 1949 (Mahfud MD, 2003: 49).

Sebagai sistem politik yang liberal, UUDS 1950 juga menganut sistem parlementarisme secara konstitusional serta sistem multi-partai seperti yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949. Sistem yang menyediakan saluran aspirasi politik melalui partai politik ini ternyata menimbulkan instabilitas nasional, sehingga dalam masa berlakunya UUDS 1950 tercatat tujuh kali jatuh bangunnya kabinet. Kabinet-kabinet antara tahun 1950-1959 adalah: (1) Kabinet Natsir, (2) Kabinet Soekiman, (3) Kabinet Wilopo-Prawoto, (4) Kabinet Ali Sastroamidjojo I, (5) Kabinet Burhanuddin Harahap, (6) Kebinet Ali Sastroamidjojo II, dan (7) Kabinet Juanda (Maarif, 1998: 38-49).

Jatuh bangunnya kabinet yang begitu sering telah menimbulkan rasa tidak puas di kalangan politisi Indonesia. Di samping itu, sistem politik pemerintahan yang tersentralisasi di Jawa juga menyebabkan timbulnya ketidakpuasan beberapa daerah sehingga menyebabkan timbulnya pemberontakan-pemberontakan, seperti pemberontakan PRRI (1958) yang begitu serius mengancam ketahanan Republik yang baru berdiri.

Sementara itu, pertentangan antara kelompok pendukung Pancasila dan pendukung Islam dalam persoalan dasar negara di dalam Konstituante terus meruncing bahkan konfrontasi itu diperluas sampai keluar gedung Konstiuante. Dua kubu yang berhadapan di Konstituante, tampak tegas dengan pendirian masing-masing tentang dasar negara. Satu pihak menegaskan dasar negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu Pancasila, sedangkan yang lain terdiri dari partai-partai Islam bertaha untuk tetap menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Dalam suasana yang mengancam keutuhan teritorial sebagaimana dikatakan Herbert Feith dan ancaman perpecahan sebagaimana dikatakan Soempono Djojowandono itulah muncul gagasan Demokrasi Terpimpin oleh Sukarno pada bulan Februari 1957. Konsepsi Demokrasi Terpimpin ini menurut Adam Malik, mula-mula dicetuskan oleh Partai Murba, Chairul Saleh, dan Ahmadi. Konsepsi Demokrasi Terpimpin ini nantinya akan membawa PKI masuk ke dalam kabinet (Mahfud MD, 2003: 52).

Demokrasi Terpimpin

Seminggu setelah Dekrit 5 Juli 1959, Sukarno mengumumkan kabinetnya yang baru, menggantikan Kabinet Juanda yang mengemba-likan mandatnya pada 6 Juli 1959. Kabinet Juanda adalah kabinet peralihan dari periode Demokrasi Parlementer ke periode Demokrasi Terpimpin. Dalam Kabinet Sukarno ini, Juanda tetap diberi posisi penting, yaitu sebagai Menteri Pertama, yang tugasnya tidak banyak berbeda dengan tugas Perdana Menteri.

Kabinet baru di bawah payung UUD 1945 ini diberi nama Kabinet Kerja. Kabinet inilah yang kemudiana bekerja dan bertugas melaksanakan gagasan Sukarno dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi gaya baru ini, yang digagas Sukarno, demikian dinyatakan Syafii Maarif (1998:49), telah mebawa Sukarno ke puncak kekuasaannya. Namun demikian, karena fondasinya yang tidak kokoh, sistem itu pulalah yang yang pada akhirnya membawa Sukarno pada akhir kekuasaannya.

Sekitar enam setengah tahun (1959-1965) sistem ini beroperasi dalam sejarah kontemporer Indonesia. Dalam pandangan Syafii Maarif (1988:50), Demokrasi Terpimpin dalam prakteknya adalah sistem politik dengan baju demokrasi tapi minus demokrasi. Mengapa semuanya bisa terjadi? Salah satu penjelasan untuk ini mungkin dapat ditelusur pada praktik politik masa demokrasi liberal, di mana partai-partai begitu berkuasanya hingga kepentingan negara secara keseluruhan sering kali tidak diperdulikan.

Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia memang harus jatuh-bangun dalam kerja uji coba sistem demokrasi. Penjelasan lain mengapa harus Demokrasi Terpimpin dapat dicari pada kenyataan bahwa Sukarno tidak mau lagi menjadi tukang stempel, dalam arti seorang presiden simbol, demikian istilah yang digunakan Syafii Maarif (1988:51). Hal tersebut memang tercermin pada ketentuan yang ada dalam UUDS 1950 yang menjadi dasar konstitusional bagi pelaksanaan demokrasi parlementer di Indonesia. Pendek kata, ia ingin memiliki kekuasaan langsung dalam memimpin pemerintahan.

Tampaknya Sukarno kecewa pada waktu Sutan Syahrir, pada pertengahan Nopember 1945 berhasil ‘menyisihkan’ Sukarno-Hatta dari pimpinan eksikutif dengan membentuk kabinet parlementer pertama, sekalipun masih di bawah UUD 1945, yang menganut sistem kabinet presidensial. Dengan diselingi sebentar oleh Kabinet Hatta sebagai kabinet presidensial tahun 1948/1949, perpolitikan Indonesia sampai dengan Kabinet Ali-Roem-Idham (1956-1957) dikuasai oleh kabinet parlementer yang tidak pernah berumur panjang.

Keinginan Sukarno untuk berkuasa langsung tersebut disampaikan pertama kali pada 28 Oktober 1956, pada waktu ia mengemukakan tentang konsepsi Bung Karno, yang antara lain berisi ide tentang pembentukan Dewan Nasional, dan keterlibatannya secara langsung dalam memimpin pemerintahan.

Dewan Nasional kemudian dibentuk pada 11 Juli 1957 yang langsung diketuai Sukarno. Selanjutnya, dengan terbentuknya Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 22 Juli 1959, maka berakhirlah tugas Dewan Nasional. Ketua DPAS sendiri dipegang oleh Sukarno. DPAS yang diketuai secara formal oleh Sukarno, penanganan seharihari diserahkan kepada wakil ketuanya, Roeslan Abdoelgani, yang memang punya andil besar dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. DPAS ini pulalah yang mengusulkan agar pidato kenegaraan Presiden 17 Agustus 1959 dijadikan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian berkembang menjadi ManipolUSDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi ala Indonesia, Ekonomi Terpimpin, dan Keadilan Sosial). Kesemuanya itu menjadi landasan dasar bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin.

Pembentukan dewan di atas yang pada bulan Maret 1960 ditambah lagi dengan pembentukan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) sebagai ganti dari DPR pilihan rakyat yang dibubarkan, merupakan mekanisme dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin. Fakta yang menarik adalah bahwa anggota-anggota yang duduk dalam dewan-dewan itu adalah mereka yang disukai dan sefaham dengan Sukarno. Padaa bulan-bulan pertama pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dapat dilihat adanya proses kristalisasi yang cepat antara pendukung dan penentang demokrasi gaya baru tersebut.

Bersamaan dengan gencarnya propaganda Demokrasi Terpimpin, Sukarno mengritik habis-habisan ide dan pelaksanaan demokrasi liberal, yang katanya semakin menjauhkan Indonesia dari tujuan revolusi. Sukarno sudah jenuh menyaksikan pertentangan golongan-golongan politik yang ada. Biang keladi dari semua itu menurut pandangannya tidak lain dari pelaksanaan demokrasi liberal gaya Barat. Padahal menurutnya Indonesia adalah sebuah negara di dunia Timur.

Dalam pandangan Sukarno, karena Indonesia adalah negara Timur, maka sistem demokrasinya harus juga bercorak Timur. Dalam suatu wawancara dengan George McT. Kahin, Sukarno menegaskan bahwa demokrasi Timur, khususnya demokrasi Indonesia, adalah demokrasi yang dipimpin oleh pemimpin. Lebih lanjut, ditegaskan pula bahwa “Demokrasi Indonesia sejak jaman purbakala adalah Demokrasi Terpimpin” (Maarif, 1988: 55).

Dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul “Penemuan kembali Revolusi Kita”, Sukarno menjelaskan dua prinsip dasar dari Demokrasi Terpimpin: (1) Tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, dan negara; (2) Tiap-tiap orang berhak mendapatkan penghidupan layak dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam amanatnya pada 22 April 1959, Sukarno menyampaikan beberapa definisi Demokrasi Terpimpin, di antaranya, Demokrasi Terpimpin adalah “demokrasi, atau, dalam UUD 1945 dikatakan demokrasi “yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusya-waratan/perwakilan”. Pada kesempatan lain dinyatakan Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarkinya liberalisme, tanpa otokrasinya diktator.

Pengertian agak rinci tentang Demokrasi Terpimpin dapat ditemukan dalam pidato kenegaraan Sukarno pada HUT Kemerdekaan RI tahun 1957 dan 1958, yang pokok-pokoknya sebagai berikut.

  1. Ada rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun 1945, karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi seperti masalah kemakmuran dan pemerataan keadilan, belum utuhnya wilayah RI, dan instabilitas nasional yang ditandai jatuh-bangunnya kabinet sampai 7 kali.
  2. Kegagalan tersebut disebabkan menipisnya rasa nasionalisme, pemilihan demokrasi liberal yang tanpa pemimpin dan tanpa disiplin, suatu demokrasi yang tidak cocok dengan kepribadian Indonesia, serta sistem multi partai yang didasarkan pada Maklumat Pemerintah 3 November 1945, yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat perebutan kekuasaan dan bukan sebagai alat pengabdi rakyat.
  3. Suatu koreksi untuk segera kembali kepada cita-cita dan tujuan semula, harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan suatu sistem demokrasi yang menuntun untuk mengabdi kepada negara dan mengabdi kepada bangsa dan yang beranggotakan orang-orang jujur.
  4. Cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksi tersebut adalah:
    1. Mengganti sistem free fight liberalism dengan Demokrasi Terpimpin yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
    2. Dewan Perancang Nasional akan membuat blue-print masyarakat yang adil dan makmur.
    3. Hendaknya Konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-larut dan segera menyelesaikan pekerjaannya agar blue-print yang dibuat Depernas dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat Konstituante.
    4. Hendaknya Konstituante meninjau dan memutuskan masalah Demokrasi Terpimpin dan masalah kepartaian (Mahfud MD, 2003: 55).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, ‘politik adalah panglima’, sehingga masalah ekonomi tidak pernah dipikirkan secara serius oleh pemerintah. Masalah politik yang mengemuka pada masa itu adalah konfrontasi dengan Malaysia dan usaha pengembalian Irian Barat. Oleh karena itu, pada tahun 1965 inflasi mencapai 650%. Dilakukan devaluasi rupiah dari nilai Rp. 1.000, turun menjadi Rp. 1, uang baru.

Sistem Demokrasi Terpimpin mungkin masih akan bertahan beberapa waktu lagi sekiranya Gerakan 30 September tidak terjadi. Kegagalan gerakan ini telah membawa Sukarno dengan sistem Demokrasi Terpimpimnya menuju pada kehancuran politiknya secara total. Manipol-USDEK yang sebelumnya dibela oleh semua golongan politik, mulai mendapatkan celaan dan ditinggalkan. Akhirnya, Demokrasi Terpimpin pun berakhir bersamaan dengan berakhirnya kekuasaan politik Sukarno.

Demokrasi Pancasila (Orde Baru)

Demokrasi yang secara resmi mengkristal di dalam UUD 1945 dan yang saat ini berlaku di Indonesia biasa disebut Demokrasi Pancasila. Dasar-dasar konstitusional bagi demokrasi di Indonesia sebagaimana yang berlaku sekarang ini sudah ada dan berlaku jauh sebelum tahun 1965, tetapi istilah Demokrasi Pancasila itu baru dipopulerkan sesudah lahir Orde Baru (1966).

Istilah Demokrasi Pancasila lahir sebagai reaksi terhaap Demokrasi Terpimpin di bawah Pemerintahan Sukarno. Gagasan Demokrasi Terpimpin, seperti diketahui telah dibakukan secara yuridis dalam bentuk Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang: Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembagalembaga Permusyawaratan/Perwakilan. Ketika Orde Baru lahir, konsep Demokrasi Terpimpin mendapat penolakan keras, sehingga pada tahun 1968, MPRS kembali mengeluarkan Ketetapan No. XXXVII/MPRS/1968, tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyaratan/Perwakilan atau sesuai dengan diktum Tap tersebut tentang Demokrasi Pancasila.

Memperhatikan kedua Ketetapan MPRS tersebut, baik Ketetapan tentang Demokrasi Terpimpin maupun Demokrasi Pancasila, Ketetapan tersebut pada dasarnya berisi teknis pelaksanaan pengambilan keputusan dalam permusyawaratan. Menurut Demokrasi Terpimpin, inti dari permusyawaratan adalah ‘musyawarah untuk mufakat’, yang apabila hal itu tidak dapat dicapai, maka musyawarah harus menempuh salah satu jalan berikut:

  1. Persoalan diserahkan kepada pimpinan untuk mengambil kebijaksanaan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang bertentangan.
  2. Persoalannya ditiadakan sama sekali.

Sedangkan konsep Demokrasi Pancasila juga mengutamakan musyawarah untuk mufakat, tetapi pimpinan tidak diberi hak untuk mengambil sendiri dalam hal ‘mufakat bulat’ tidak tercapai. Bagi Demokrasi Pancasila sesuai Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1968, untuk mengatasi kemacetan karena tidak dapat dicapainya ‘musyawarah untuk mufakat secara bulat’, maka jalan yang dapat dilakukan degan voting (pemungutan suara). Hal ini sesuai dengan prosedur yang dikehendaki Pasal 2 Ayat (3) dan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.

Perumusan Demokrasi Pancasila sebagaimana diatur dalam Tap MPRS No. XXXVII/MPRS/1968, kembali dicabut dengan Tap No.V/MPR/1973. Tetapi lebih dari sekedar soal teknis prosedural, sudah banyak dilakukan upaya untuk memberikan pengertian mengenai Demokrasi Pancasila. Presiden Suharto pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967, antara lain menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi haruslah selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tinggalkan komentar